Ekonomi kreatif bukan terminologi baru. Ekonomi kreatif telah diadopsi menjadi sebuah program strategis di bawah Kementerian Perdagangan yang saat itu dipimpin Marie Elka Pangestu. Ini tercermin dalam Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015. Basis program ini bersandar pada kinerja produktif sumber daya manusia kreatif.
Itu berarti, sumber daya manusia kreatif amat dibutuhkan dalam menghasilkan sasaran program ekonomi kreatif. Untuk itu bukan hanya perlu dicetak sumber daya manusia kreatif secara kuantitatif, tetapi juga sumber daya manusia kreatif secara kualitatif.
Manusia kreatif harus mampu menggali ide kreatifnya serta mengembangkan ide tersebut secara inovatif. Di bidang ekonomi, ide kreatif dan inovatif itu harus mampu diejawantahkan dalam karya atau produk yang sesuai kebutuhan dan selera pasar ekonomi.
Era globalisasi membuka akses luas bagi karya atau produk semacam itu untuk menembus pasar dunia. Namun, produk tersebut tentu harus memenuhi standar kualitas yang dituntut pasar global dalam kondisi kompetisi pasar yang makin tajam ini.
Tugas lembaga pendidikan formal maupun nonformal menjadi strategis dalam proses pencetakan mutu manusia kreatif dan inovatif tersebut. Jenjangnya tidak hanya terkonsentrasi di tingkat sekolah menengah kejuruan dan balai pelatihan kerja. Ini juga menjadi tanggung jawab akademi yang menekankan penguatan proses pengajaran keterampilan anak didik.
Selama ini, sekolah kejuruan dan balai pelatihan kerja umumnya telah menunjukkan kualifikasi khusus sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi pasar kerja. Kreativitas dan inovasi menjadi titik tekan utama dalam proses pembelajaran di lingkungan lembaga pendidikan ini. Jumlah sumber daya manusia kreatif dan inovatif tidak sedikit yang lahir dari lembaga pendidikan semacam ini.
Namun, apakah lulusannya telah mampu menjawab sepenuhnya tuntutan program ekonomi kreatif, apalagi tuntutan global? Kementerian Perdagangan memasukkan minimal 14 subsektor ekonomi kreatif, yaitu periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan (handicraft); desain; fashion; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan. Keempatbelas subsektor program ekonomi kreatif tersebut tampaknya telah diwadahi dalam beragam lembaga pendidikan kejuruan.
Namun, jumlah lembaga pendidikan kejuruan yang dianggap dapat menunjang upaya melahirkan sumber daya manusia kreatif di masing-masing subsektor tersebut masih terbatas. Ini terutama amat dirasakan di sebagian besar daerah di Indonesia. Jumlah sekolah menengah kejuruan belum sebanyak sekolah menengah umum. Jumlah balai pelatihan kerja pun juga masih belum sebanyak diharapkan pasar kerja.
Pemerintah sebaiknya makin serius menjadikan beroperasinya sekolah menengah umum dan kejuruan secara proporsional. Penerbitan izin operasi sekolah menengah kejuruan seyogianya diperbanyak. Begitu pula dengan penerbitan izin operasi balai pelatihan kerja sebagai cermin keseriusan pemerintah melahirkan makin banyak lembaga pendidikan kejuruan. Upaya ini sejalan dengan spirit memperbanyak jumlah lembaga pendidikan berorientasi ekonomi kreatif.
Langkah itu saja tidak cukup. Izin lembaga pendidikan kejuruan tersebut sebaiknya tidak diobral di lingkungan perkotaan. Pemerintah sebaiknya mendorong lahirnya kian banyak sekolah kejuruan di wilayah kabupaten. Ini terutama dilakukan di wilayah kabupaten yang tinggi potensi daya serap tenaga terampil.
Tenaga terampil dimaksud tentu sama maknanya dengan sumber daya manusia kreatif dan inovatif tadi. Mereka tidak hanya mampu menggali dan membidani ide kreatif. Tetapi, ide tersebut berhasil pula dituangkan menjadi karya kreatif dan inovatif. Karya semacam itu memiliki potensi besar untuk menembus pasar konsumen global.
Itu berarti, sumber daya manusia kreatif amat dibutuhkan dalam menghasilkan sasaran program ekonomi kreatif. Untuk itu bukan hanya perlu dicetak sumber daya manusia kreatif secara kuantitatif, tetapi juga sumber daya manusia kreatif secara kualitatif.
Manusia kreatif harus mampu menggali ide kreatifnya serta mengembangkan ide tersebut secara inovatif. Di bidang ekonomi, ide kreatif dan inovatif itu harus mampu diejawantahkan dalam karya atau produk yang sesuai kebutuhan dan selera pasar ekonomi.
Era globalisasi membuka akses luas bagi karya atau produk semacam itu untuk menembus pasar dunia. Namun, produk tersebut tentu harus memenuhi standar kualitas yang dituntut pasar global dalam kondisi kompetisi pasar yang makin tajam ini.
Tugas lembaga pendidikan formal maupun nonformal menjadi strategis dalam proses pencetakan mutu manusia kreatif dan inovatif tersebut. Jenjangnya tidak hanya terkonsentrasi di tingkat sekolah menengah kejuruan dan balai pelatihan kerja. Ini juga menjadi tanggung jawab akademi yang menekankan penguatan proses pengajaran keterampilan anak didik.
Selama ini, sekolah kejuruan dan balai pelatihan kerja umumnya telah menunjukkan kualifikasi khusus sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi pasar kerja. Kreativitas dan inovasi menjadi titik tekan utama dalam proses pembelajaran di lingkungan lembaga pendidikan ini. Jumlah sumber daya manusia kreatif dan inovatif tidak sedikit yang lahir dari lembaga pendidikan semacam ini.
Namun, apakah lulusannya telah mampu menjawab sepenuhnya tuntutan program ekonomi kreatif, apalagi tuntutan global? Kementerian Perdagangan memasukkan minimal 14 subsektor ekonomi kreatif, yaitu periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan (handicraft); desain; fashion; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan. Keempatbelas subsektor program ekonomi kreatif tersebut tampaknya telah diwadahi dalam beragam lembaga pendidikan kejuruan.
Namun, jumlah lembaga pendidikan kejuruan yang dianggap dapat menunjang upaya melahirkan sumber daya manusia kreatif di masing-masing subsektor tersebut masih terbatas. Ini terutama amat dirasakan di sebagian besar daerah di Indonesia. Jumlah sekolah menengah kejuruan belum sebanyak sekolah menengah umum. Jumlah balai pelatihan kerja pun juga masih belum sebanyak diharapkan pasar kerja.
Pemerintah sebaiknya makin serius menjadikan beroperasinya sekolah menengah umum dan kejuruan secara proporsional. Penerbitan izin operasi sekolah menengah kejuruan seyogianya diperbanyak. Begitu pula dengan penerbitan izin operasi balai pelatihan kerja sebagai cermin keseriusan pemerintah melahirkan makin banyak lembaga pendidikan kejuruan. Upaya ini sejalan dengan spirit memperbanyak jumlah lembaga pendidikan berorientasi ekonomi kreatif.
Langkah itu saja tidak cukup. Izin lembaga pendidikan kejuruan tersebut sebaiknya tidak diobral di lingkungan perkotaan. Pemerintah sebaiknya mendorong lahirnya kian banyak sekolah kejuruan di wilayah kabupaten. Ini terutama dilakukan di wilayah kabupaten yang tinggi potensi daya serap tenaga terampil.
Tenaga terampil dimaksud tentu sama maknanya dengan sumber daya manusia kreatif dan inovatif tadi. Mereka tidak hanya mampu menggali dan membidani ide kreatif. Tetapi, ide tersebut berhasil pula dituangkan menjadi karya kreatif dan inovatif. Karya semacam itu memiliki potensi besar untuk menembus pasar konsumen global.
Apa yang dimaksud dengan ekonomi kreatif? Telkom University
BalasHapus