Negara ini sebenarnya sudah memiliki banyak pengalaman dan kisah sukses dalam mengembangkan pembiayaan mikro atau puluhan istilah mirip lainnya. Dan, hal ini telah diakui dunia internasional pada periode sama ketika Muhamad Yunus baru mulai membangun visinya mengentaskan kemiskinan lewat pembiayaan atau perbankan mikro (banking for poor).
Kisah sukses di Indonesia oleh World Bank disebut sebagai revolusi microfinance (Marquerette S. Robinson, 2002). Guru besar antropologi ini menggunakan perjalanan dan kisah sukses Bank Dagang Bali dan BRI setelah berhasil mentransformasi kredit unit desa (KUD) sebagai ujung tombak penyalur kredit ke calon debitur (usaha mikro). Dominasi ini tidak berubah hingga kini. Dari dana Rp111 triliun untuk 7,5 juta nasabah usaha mikro, mayoritas berasal dari BRI (51,6%), disusul BNI (9,6%), Mandiri (8,8%), dan BPD (8,2%).
Undisbursed Loan Usaha Mikro
Semakin ramainya perbankan mengemas dan menjual kredit ke pengusaha mikro merupakan kondisi positif. Tapi, kita juga perlu memperhatikan “ketidakmampuan usaha mikro” dalam menyerap kredit yang sudah disetujui. “Kelonggaran tarik kredit” istilah Bank Indonesia untuk “undisbursed loan” usaha mikro sejak 2010 cenderung meningkat dari Rp72 triliun naik jadi Rp77 triliun sampai akhir Agustus 2012. Sehingga, rasionya juga naik dari 3,2% menjadi 3,6% selama periode yang sama. Di sisi lain, total kredit (netto) juga menurun dari Rp194 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp121 triliun per Agustus 2012, setelah tahun 2011 sempat melonjak jadi Rp300 triliun.
Tren menunjukkan rasio NPL (non-performing loan) milik bank asing dan bank campuran untuk membiayai usaha mikro ini lebih kecil dibanding bank negara dan swasta, yang implisit menunjukkan mereka lebih baik dalam mengelola nasabah mikro. Dan, NPL tertinggi ada di sektor perikanan dan perdagangan.
Mengutip hasil survei rumah tangga Bank Indonesia tahun 2011, disebutkan bahwa sekitar 120 juta atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional yang mencakup 32 juta jiwa belum tersentuh layanan perbankan, tidak punya tabungan. Disamping itu, masih terdapat 60 juta UKM yang belum tersentuh jasa perbankan.
Potret pasar perkreditan dengan undisbursed loan berkisar 3,6% menunjukkan masih ada kendala lain (selain masalah pendanaan) dari usaha mikro nasional, yakni mereka mengalami kendala dalam menyalurkan dan mengembangkan usaha. Hal ini terkait dengan masalah perkembangan prospek ekonomi, kelaikan industri atau manajemen produksi, bahan baku sampai masalah pemasaran. Sehingga, tahap selanjutnya bukan lagi terfokus pada pembiayaan saja, tapi ada di luar aspek pembiayaan.
Pada sisi inilah, perlu dorongan dan bantuan lebih terpadu dari pemerintah, meskipun itu sebuah affirmative action. Menerapkan bunga dan aturan terkait dan perlakuan khusus kepada nasabah usaha mikro merupakan jawaban untuk membantu pertumbuhannya.
Dukungan ke Sektor Usaha Kreatif
Terkait potensi dan tren ekonomi kreatif, maka pembiayaan mikro ke sektor usaha kreatif menjadi alternatif usaha baru. Ekonomi kreatif yang berlandaskan seni dan kreativitas yang diberi sentuhan bisnis. Untuk ini, kita bisa banyak belajar dari Jepang dan Korea Selatan yang mulai membangun landasan konsep ekonomi kreatif tiga dasawarsa lampau.
Kini mereka baru menikmati hasilnya. Bahkan, produk dan jasanya sudah berhasil diekspor secara mengglobal dan masuk pula ke Jakarta. Sebagai contoh kecil, lihat saja mewabahnya tarian “Gangnam Style” dan puluhan komik “teen lit” Jepang sampai serial manga “One Piece” yang terjual jutaan eksemplar.
Kita sesungguhnya memiliki warisan seni budaya yang tak terhitung jumlahnya. Ibarat harta karun terpendam yang tinggal diasah. Hal ini tentu menjadi modal dasar yang sangat baik untuk mengembangkan sektor usaha kreatif nasional dengan disokong pembiayaan mikro. Oleh sebab itu, aneka warisan budaya tersebut selayaknya harus segera dipatenkan, sebelum kita lebih banyak ribut dengan negeri jiran mengenai hak cipta warisan seni budaya kita karena ekonomi kreatif terkait juga ke industri hak cipta dan budaya.
Kisah sukses di Indonesia oleh World Bank disebut sebagai revolusi microfinance (Marquerette S. Robinson, 2002). Guru besar antropologi ini menggunakan perjalanan dan kisah sukses Bank Dagang Bali dan BRI setelah berhasil mentransformasi kredit unit desa (KUD) sebagai ujung tombak penyalur kredit ke calon debitur (usaha mikro). Dominasi ini tidak berubah hingga kini. Dari dana Rp111 triliun untuk 7,5 juta nasabah usaha mikro, mayoritas berasal dari BRI (51,6%), disusul BNI (9,6%), Mandiri (8,8%), dan BPD (8,2%).
Undisbursed Loan Usaha Mikro
Semakin ramainya perbankan mengemas dan menjual kredit ke pengusaha mikro merupakan kondisi positif. Tapi, kita juga perlu memperhatikan “ketidakmampuan usaha mikro” dalam menyerap kredit yang sudah disetujui. “Kelonggaran tarik kredit” istilah Bank Indonesia untuk “undisbursed loan” usaha mikro sejak 2010 cenderung meningkat dari Rp72 triliun naik jadi Rp77 triliun sampai akhir Agustus 2012. Sehingga, rasionya juga naik dari 3,2% menjadi 3,6% selama periode yang sama. Di sisi lain, total kredit (netto) juga menurun dari Rp194 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp121 triliun per Agustus 2012, setelah tahun 2011 sempat melonjak jadi Rp300 triliun.
Tren menunjukkan rasio NPL (non-performing loan) milik bank asing dan bank campuran untuk membiayai usaha mikro ini lebih kecil dibanding bank negara dan swasta, yang implisit menunjukkan mereka lebih baik dalam mengelola nasabah mikro. Dan, NPL tertinggi ada di sektor perikanan dan perdagangan.
Mengutip hasil survei rumah tangga Bank Indonesia tahun 2011, disebutkan bahwa sekitar 120 juta atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional yang mencakup 32 juta jiwa belum tersentuh layanan perbankan, tidak punya tabungan. Disamping itu, masih terdapat 60 juta UKM yang belum tersentuh jasa perbankan.
Potret pasar perkreditan dengan undisbursed loan berkisar 3,6% menunjukkan masih ada kendala lain (selain masalah pendanaan) dari usaha mikro nasional, yakni mereka mengalami kendala dalam menyalurkan dan mengembangkan usaha. Hal ini terkait dengan masalah perkembangan prospek ekonomi, kelaikan industri atau manajemen produksi, bahan baku sampai masalah pemasaran. Sehingga, tahap selanjutnya bukan lagi terfokus pada pembiayaan saja, tapi ada di luar aspek pembiayaan.
Pada sisi inilah, perlu dorongan dan bantuan lebih terpadu dari pemerintah, meskipun itu sebuah affirmative action. Menerapkan bunga dan aturan terkait dan perlakuan khusus kepada nasabah usaha mikro merupakan jawaban untuk membantu pertumbuhannya.
Dukungan ke Sektor Usaha Kreatif
Terkait potensi dan tren ekonomi kreatif, maka pembiayaan mikro ke sektor usaha kreatif menjadi alternatif usaha baru. Ekonomi kreatif yang berlandaskan seni dan kreativitas yang diberi sentuhan bisnis. Untuk ini, kita bisa banyak belajar dari Jepang dan Korea Selatan yang mulai membangun landasan konsep ekonomi kreatif tiga dasawarsa lampau.
Kini mereka baru menikmati hasilnya. Bahkan, produk dan jasanya sudah berhasil diekspor secara mengglobal dan masuk pula ke Jakarta. Sebagai contoh kecil, lihat saja mewabahnya tarian “Gangnam Style” dan puluhan komik “teen lit” Jepang sampai serial manga “One Piece” yang terjual jutaan eksemplar.
Kita sesungguhnya memiliki warisan seni budaya yang tak terhitung jumlahnya. Ibarat harta karun terpendam yang tinggal diasah. Hal ini tentu menjadi modal dasar yang sangat baik untuk mengembangkan sektor usaha kreatif nasional dengan disokong pembiayaan mikro. Oleh sebab itu, aneka warisan budaya tersebut selayaknya harus segera dipatenkan, sebelum kita lebih banyak ribut dengan negeri jiran mengenai hak cipta warisan seni budaya kita karena ekonomi kreatif terkait juga ke industri hak cipta dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar